BANCAKAN/SLAMATAN WETON

Bancakan weton dilakukan tepat pada hari weton
kita. Dalam tradisi Jawa, seseorang harus
dibuatkan bancakan weton minimal sekali selama
seumur hidup. Namun akan lebih baik dilakukan
paling tidak setahun sekali. Apabila seseorang
sudah merasakan sering mengalami kesialan
(sebel-sial), ketidakberuntungan, selalu mengalami
kejadian buruk, biasanya dilakukan bancakan
weton selama 7 kali berturut-turut, artinya sekali
bancakan setiap 35 hari, selama 7 bulan berturut-
turut.
MANFAAT BANCAKAN
Manfaat dan tujuan bancakan weton adalah untuk
"ngopahi sing momong", karena masyarakat
Jawa percaya dan memahami jika setiap orang
ada yang momong (pamomong) atau "pengasuh
dan pembimbing" secara metafisik. Pamomong
bertugas selalu membimbing dan mengarahkan
agar seseorang tidak salah langkah, agar supaya
lakune selalu pener, dan pas. Pamomong
sebisanya selalu menjaga agar kita bisa terhindar
dari perilaku yang keliru, tidak tepat, ceroboh,
merugikan. Antara pamomong dengan yang
diemong seringkali terjadi kekuatan tarik-menarik.
Pamomong menggerakkan ke arah kareping
rahsa, atau mengajak kepada hal-hal baik dan
positif, sementara yang diemong cenderung
menuruti rahsaning karep, ingin melakukan hal-
hal semaunya sendiri, menuruti keinginan
negative, dengan mengabaikan kaidah-kaidah
hidup dan melawan tatanan yang akan
mencelakai diri pribadi, bahkan merusak
ketenangan dan ketentraman masyarakat. Antara
pamomong dengan yang diemong terjadi tarik
menarik, Dalam rangka tarik-menarik ini,
pamomong tidak selalu memenangkan
"pertarungan" alias kalah dengan yang diemong.
Dalam situasi demikian yang diemong lebih
condong untuk selalu mengikuti rahsaning karep
(nafsu). Bahkan tak jarang apabila seseorang
kelakuannya sudah tak terkendali atau mengalami
disorder, sing momong biasanya sudah enggan
untuk memberikan bimbingan dan asuhan.
Termasuk juga bila yang diemong mengidap
penyakit jiwa. Dalam beberapa kesempatan saya
pernah nayuh si pamomong seseorang yang
sudah mengalami disorder misalnya kelakuannya
liar dan bejat, sering mencelakai orang lain,
ternyata pamomong akhirnya meninggalkan
yang diemong karena sudah enggan
memberikan bimbingan dan asuhan kepada
seseorang tersebut. Pamomong sudah tidak lagi
mampu mengarahkan dan membimbingnya.
Apapun yang dilakukan untuk mengarahkan
kepada segala kebaikan, sudah sia-sia saja.
Kebanyakan kasus pada seseorang yang
mengalami disorder biasanya sang pamomong-
nya diabaikan, tidak dihargai sebagaimana
mestinya padahal pamomong selalu
mencurahkan perhatian kepada yang diemong,
selalu mengajak kepada yang baik, tepat, pener
dan pas. Sehingga hampir tidak pernah terjadi
interaksi antara diri kita dengan yang momong.
Dalam tradisi Jawa, interaksi sebagai bentuk
penghargaan kepada pamomong, apalagi diopahi
dengan cara membuat bancakan weton.
Eksistensi pamomong oleh sebagian orang
dianggapnya sepele bahkan sekedar
mempercayai keberadaannya saja dianggap sirik.
Tetapi bagi saya pribadi dan kebanyakan orang
yang mengakui eksistensi dan memperlakukan
secara bijak akan benar-benar menyaksikan daya
efektifitasnya. Kemampuan diri kita juga akan
lebih optimal jika dibanding dengan orang yang
tidak pernah melaksanakan bancakan weton.
Selama ini saya mendapat kesaksian langsung
dari teman-teman yang saya anjurkan agar
mem-bancaki wetonnya sendiri. Mereka benar-
benar merasakan manfaatnya bahkan seringkali
secara spontan memperoleh kesuksesan setelah
melaksanakan bancakan weton. Hal itu tidak lain
karena daya metafisis kita akan lebih maksimal
bekerja. Katakanlah, antara batin dan lahir kita
akan lebih seimbang, harmonis dan sinergis,
serta keduanya baik fisik dan metafisik akan
menjalankan fungsinya secara optimal untuk
saling melengkapi dan menutup kelemahan yang
ada. Bancakan weton juga tersirat makna,
penyelarasan antara lahir dengan batin, antara
jasad dan sukma, antara alam sadar dan bawah
sadar.
SIAPAKAH SEBENARNYA SANG
PAMOMONG ?
Pertanyaan di atas seringkali dilontarkan. Saya
pribadi terkadang merasa canggung untuk
menjelaskan secara detil, oleh karena tidak setiap
orang mampu memahami. Bahkan seseorang
yang bener-bener tidak paham siapa yang
momong, kemudian bertanya, namun setelah
dijawab toh akhirnya membantah sendiri. Seperti
itulah karakter pikir sebagian anak zaman
sekarang yang terlalu "menuhankan" rasio dan
sebagian yang lain tidak menyadari bahwa
dirinya sedang tidak sadar. Apapun reaksinya,
kiranya saya tetap perlu sekali menjelaskan siapa
jati diri sang pamomong ini agar supaya para
pembaca yang budiman yang memiliki
antusiasme akan luasnya bentang sayap
keilmuan, dan secara dinamis berusaha
menggapai kualitas hidup lebih baik dari
sebelumnya dapat menambah wawasan dan
ilmu pengetahuan yang lebih luas.
Pamomong, atau sing momong, adalah esensi
energy yang selalu mengajak, mengarahkan,
membimbing dan mengasuh diri kita kepada
sesuatu yang tepat, pas dan pener dalam
menjalani kehidupan di dunia ini. Esensi energy
dapat dirasakan bagaikan medan listrik, yang
mudah dirasakan tetapi sulit dilihat dengan mata
wadag. Jika eksistensi listrik dipercaya ada, karena
bisa dirasakan dan dibuktikan secara ilmiah.
Sementara itu eksistensi pamomong sejauh ini
memang bisa dirasakan, dan bagi masyarakat
yang masih awam pembuktiannya masih
terbatas pada prinsip-prinsip silogisme setelah
menyaksikan dan mersakan realitas empiris.
Pamomong diakui eksistensinya setelah melalui
proses konklusi dari pengalaman unik (unique
experience) yang berulang terjadi pada diri sendiri
dan yang dialami banyakan orang. Lain halnya
bagi sebagian masyarakat yang pencapaian
spiritualitasnya sudah memadai dapat
pembuktiannya tidak hanya sekedar merasakan
saja, namun dapat menyaksikan atau melihat
dengan jelas siapa sejatinya sang pamomong
masing-masing diri kita. Dalam pembahasan
khusus suatu waktu akan saya uraikan secara
detail mengenai jati diri sang Pamomong.